Selasa, 28 Januari 2014

Pendakian Gunung Batur, Alam adalah Sahabat


Pengalaman ini bukan cerita baru. Walaupun pengalaman tahun lalu, kesannya terasa sepanjang masa.

Saya sangat suka aktivitas outdoor. Aktivitas outdoor berpadu sempurna dengan pemandangan indah adalah obat bagi apapun masalah yang sedang kita pikirkan. Saat itu bulan agustus 2013, dari lantai 3 gedung kampus, bersama teman seorang mapala menatap puncak gunung nan jauh di utara berlatar cerahnya langit bertaburkan biru. Tanyaku, “Apa yang akan aku dapatkan saat pertama kali berada disana?” Jawaban yang menantang, “Jangan tanyakan itu padaku, karena jawaban dari setiap puncak selalu berbeda dan sulit dimengerti. Datanglah ke gunung, temukan jawabannya disana.”
Dan pertanyaan “kapan” dari ku yang terbalas senyum, cukup memulai pengalaman ini.

17 Agustus 2013, bersama tiga rekan berangkat ke Kintamani dari Kota Denpasar dan dua orang teman yang merupakan anak mapala berangkat dari puncak Gunung Agung. Lho maksudnya?? Yaps, mereka hari itu memperingati 17 Agustus di Puncak Gunung Agung, dan sore harinya akan bertemu kami di Kintamani untuk menuju Gunung Batur. Gunung Batur cocok untuk kami para pendaki pemula.

Gunung Batur (1.717m) merupakan gunung nomor dua di bali, setelah Gunung Agung (3.142m). Gunung ini letaknya di kecamatan Kintamani, kabupaten Bangli. Gunung ini memiliki kaldera besar yang dianggap salah satu yang terbesar dan paling indah di dunia. Kaldera ini terbentuk setelah dua letusan besar 29.300 dan 20.150 tahun yang lalu. Gunung ini telah meletus sebanyak 26 kali sejak 1804. Letusan terbesar adalah pada tahun 1926 yang menyebabkan Desa Batur ditutupi oleh lava. Letusan terakhir terjadi pada tahun 2000, tapi syukurnya itu bukanlah letusan yang besar. Jadi Desa Batur yang terletak di sebelah selatan gunung berapi yang ada sekarang adalah sebuah desa baru yang dibangun setelah letusan. Gunung hitam kering ini masih memiliki nafas dan memberikan hidup kepada masyarakat di sekitarnya.

Foto udara Kaldera Batur dari sisi timur Gunung Agung. Sumber: dewatajourney.com


Kawah Gunung Batur, Capture dari Google Earth.
Perjalanan dari Denpasar ke Kintamani sekitar 2 jam perjalanan, kami pun bertemu di Kintamani pukul 20.00 WITA. Tidak bisa membayangkan bagaimana tangguhnya dua orang teman kami yang baru turun dari mendaki Gunung Agung dan sekarang menemani kami menuju puncak Gunung Batur. Awesome...

Jalan turunan berkelok kami susuri menuju Desa Kedisan yang terbalutkan kabut dengan hawa dingin yang menusuk tubuh, sampai kami memasuki jalanan yang lumayan rusak serta banyak persimpangan tepatnya di kawasan hutan pinus, dan berhenti pada areal Pura Tampurhyang. Ternyata kawasan ini yang disebut sebagai jalur pendakian Toya Bungkah. Jalur pendakian Gunung Batur ada 2, yaitu jalur pendakian Toya Bungkah dan jalur pendakian Puri Jati. Sebelum beristirahat kami melakukan persembahyangan di Pura tersebut sebagai kepercayaan kami untuk memohon ijin dan keselamatan selama beristirahat dan pendakian. Pukul 21.30 WITA kami beristirahat pada sebuah wantilan dekat pura, namun tidur sangat gelisah, terganggu dengan hawa dingin yang semakin larut semakin menusuk sampai ke tulang.

Deringan alarm dari ke-6 HP sontak membuat kami ber-6 terbangun kaget. Hahahaa bagaikan ada panggilan darurat untuk bertempur. Dan yeaah pukul 02.00 WITA, 18 Agustus 2013. Saatnya berkemas-kemas untuk memulai pendakian. Sementara pendakian dimulai dengan menaiki motor. Sungguh pengalaman luar biasa menelusuri jalan setapak yang tidak datar serta menanjak lumayan terjal menggunakan motor bebek. Kasian motor kami, hiiiiiii. Berhenti di depan sebuah pura dengan pondasi yang tinggi. Sepeda motor kami masukkan ke semak-semak di depan pura (gile benerrrr, haaa). Sebelum pendakian yang sebenarnya, diawali persembahyang pada pura tersebut. Dan, pendakian dimulai. Pengarahan terlebih dahulu dari teman kami yang akan menjadi penunjuk jalur pendakian. Konsep pendakian kami adalah Leader dan Sweeper. Satu sebagi Leader (pemimpin) yang akan memimpin pendakian kami di depan dan satu orang lagi sebagai Sweeper (penyapu) yang berjalan pada barisan paling belakang kelompok untuk memastikan tidak ada anggota kelompok yang tertinggal atau tersesat.

Bermodalkan dua buah senter ukuran sedang dan satu senter dari HP, kami telusuri jalur pendakian yang gelap gulita memasuki hutan pinus. Jelang beberapa lama jalur terbagi dua, satu jalur yang lebih landai namun lebih jauh dan satu lagi jalur lebih cepat namun terjal. Beristirahat sejenak, dan lanjut dengan keputusan melewati jalur lebih pendek (cepat). Jalur pendakian semakin menanjak dan mulai berpasir serta berkerikil yang membuat tempo langkah semakin melambat. Kalau tidak hati-hati bisa terpeleset atau tersangkut akar pinus yang banyak membentang di tengah jalur pendakian.
 
pemandangan kelap kelip lampu di desa jika cuaca di punggung gunung tidak berkabut. sumber: febryhadinata.blogspot.com

Angin membawa hawa dingin semakin terasa berhembus kencang sebagai tanda sebentar lagi akan keluar dari hutan pinus menuju jalur yang terbuka. Dan benar saja, kami keluar dari hutan pinus dengan jalur semakin curam, sudut kemiringan sekitar 60 derajat yang ditempa angin yang cukup kencang, cukup kuat untuk menghempaskan langkah kami. Sayang sekali pemandangan kelap kelip lampu-lampu di desa di bawah tidak dapat kami nikmati dengan puas, kabut terus menyelimuti pendakian. Pendakian pun dihadapkan dengan jalur bebatuan bekas dari lahar yang mendingin, yang diselimuti oleh embun pagi sehingga cukup licin saat kita lalui. Ini menandakan puncak semakin dekat. Dan benar saja, sudah sampai pada puncak Gunung Batur tepat pukul 04.00 WITA yang telah kami tempuh selama 2 jam pendakian.

Mengesankan!!!
Sembari menunggu sunrise, beristirahat di tenda sebuah warung yang berada di puncak. Ternyata benar apa kata teman-teman yang sudah pernah kesini, ada
semacam warung di puncak Batur. Haaaaaaaa dengan harga makanan dan minuman yang bukan main. Jadi siap-siap merogoh kocek banyak. Tapi harganya sebanding dengan lokasi warung yang tidak seperti biasanya dan perjuangan sang penjual membawa barang dagangan mereka ke puncak.

Semakin pagi pendaki semakin ramai, lebih dominan wisatawan mancanegara yang dipimpin oleh pemandu. Saya sempatkan bertanya kepada seorang pemandu, “Pak lihat ada motor masuk semak di bawah di depan pura?” Dan jawaban yang memuaskan, “ada 3 motor dik, adik punya?” Dengan senyuman saya mengangguk, haaaaa maklum was-was motor nyangkut di hutan gitu.

Akhirnya yang ditunggu pun datang, semburat kemerahan dari ufuk timur yang mulai menerangi kegelapan dibayangi kabut yang seakan mengajak bermain dengan menyembunyikan pemandangan indah tersebut. Yaahh sayang sekali, rasanya kurang “klik” melihat sunrise yang terlihat tersipu malu bersembunyi di balik sejuknya kabut yang melintasi kami. Sesekali sunrise Nampak terlihat jelas tanpa balutan kabut walau hanya sesaat, dikala itu jepretan kamera berbarengan mengabadikan indahnya sang surya yang mulai menunjukkan kehangatannya.

walaupun bersembunyi dibalik kabut, sunrise tetap indah mempesona
Sunrise hanya keindahan pembuka saat berada di puncak Gunung Batur. Kami sangat menantikan keindahan berikutnya yang akan membuat kagum dan takjub. Benar saja, selepas berpalingnya kabut yang membalut kami, mentari pagi yang sudah terik menampakkan kehindahan itu. Hamparan sisa lahar Batur menyapa dari bawah, lekuk danau batur berbentuk bulan sabit dengan petak petak-petak kebun sayur di pinggirnya. Di seberang, berdiri Gunung Abang dan Gunung Agung yang seakan-akan mengucapkan selamat pagi kepada kami lewat kekokohan dan keagungannya. Semua ini telah membuat mata menatap lebih lama daripada biasanya, kata bijak 5cm pun telah saya buktikan. Sejauh mata memandang ke sekeliling, kepenatan rutinitas sehari-hari seakan terhapuskan oleh keindahan yang tiada banding. Kaldera Batur ini begitu menawan, pantas saja kaldera Gunung Batur ini resmi masuk dalam Global Geopark Network (GGN) UNESCO pada September 2012 lalu.



membayangkan jika pemandangan di depan rumah seperti ini
Seperti tak puas-puasnya menikmati suasana di Puncak Batur, sampai tak terasa hanya kami ber-6 yang masih berada di puncak Gunung Batur. Pendaki lain sudah ada yang turun maupun ke puncak yang di seberang. Waktu menunjukkan pukul 07.45 WITA. Terlihat dua teman sudah sangat lelah, maklum tenaga mereka sudah terkuras di Gunung Agung. Kesempatan untuk beristirahat bagi mereka sangat bermanfaat, dalam sekejap mereka terlelap dalam tenda warung. Kesempatan ini saya manfaatkan untuk mencari jawaban dari pertanyaan yang telah membawa saya kesini.

Nova dan Nila, Leader dan Sweeper. Salam Lestari!!!
Berdiri di puncak tertinggi Gunung Batur dihantam hembusan angin berbalutkan awan, saya bebaskan mata memandang sejauh mungkin, pikiran membuka polanya seluas mungkin. Apa yang saya lihat bukanlah semata keindahan alam yang nampak di depan mata saya. Pikiran merasuki mata bahwa di balik keindahan alam di depan mata ini, masih ada keindahan lainnya yang berada nan jauh di baliknya, pandanglah sejauh mungkin, buka wawasan, jangan berpaku pada apa yang sedang kamu alami sekarang. Luar biasa sensasi pengalaman ini, namun belum pas di hati, merasa masih ada jawaban lain. Tentu saja, jawaban yang utama adalah “sahabat dan cinta yang tak biasa” yang saya temukan disini. Saya tidak bangga menyebut saya sudah menaklukkan puncak Gunung Batur. Karena pertanyaan dalam hati, “Siapa yang takluk?? Saya atau puncak gunung??” Bukankah saya yang takluk saat mencapai puncak ini, dengan segala hal yang telah saya persiapkan sebelum mencapai puncak ini. Saya yang mendatanginya tanpa dia undang, sayalah yang takluk padanya. Puncak gunung tetap kuat, kokoh dan gagah walau saya sebut sudah menaklukkannya. Pernyataan itu terinspirasi dari yang disampaikan oleh Sabar Gorky saat berhasil menggapai puncak Elbrus, dan saya telah membuktikannya. Benar saja, di sini kita menemukan sahabat. Puncak gunung itu menjadi sahabat yang harus kita cintai dengan perasaan yang tak seperti biasanya, puncak gunung bukanlah yang kita taklukkan. Bersahabatlah bersama alam dengan mencintainya dari rasa yang tak biasa yang kita alami dalam hidup ini.

view dari puncak
sahabat dan cinta yang tak biasa dalam hidup
Hari semakin panas, pukul 10.00 WITA, saya membangunkan kedua rekan saya, mereka Nampak sudah lebih fresh walau nyawanya seperti masih dalam mimpi. Kami mulai turun ke kawah menuju pintu terowongan lava (lava tunnel). Terowongan ini sangat unik karena seluruh dinding terbentuk oleh aliran lava. Ketika Gunung Batur meletus, lava meluber melalui sisi tenggara kawah. Bagian atas lava lebih dulu membeku, namun bagian dalam masih meleleh sehingga membuat rongga, dan sekarang terbentuk terowongan. Dari sini nampak Tebing-tebing kawah gunung Batur begitu kokoh. Begitu ikhlas menerima hantaman dingin dan angin gunung. Ia Memanjakan mata kita yang melihatnya gagah berdiri, diam dalam senyap. Kami pun memutuskan untuk turun, dan saya baru menyadari bagaimana kondisi jalur pendakian yang kami lalui dalam kegelapan subuh sebelumnya. Begitu curam, pantas saja membuat kita sport nafas. Nah jalur turun kali ini membuat kami sport jantung. Jalur turun beda dengan jalur berangkat, jalur baliknya kita menelusuri jalur setapak yang sempit, medan berikutnya turunan agak terjal yang ditutupi oleh pasir dan bebatuan.




Menuruni punggung Gunung Batur akan membutuhkan waktu lebih lama, tentu saja karena diperlambat oleh pemandangannya yang begitu berkesan dan disambut tanaman edelwis yang yang bertebaran sepanjang jalur dengan kecantikannya. Tapi jangan sampai memetik bunga edelwis ya. Tanaman edelweis ini mungkin memang indah, tapi ia ditakdirkan untuk hanya dapat dinikmati di tempat, tidak untuk dipetik dan dibawa pulang. Karena ia adalah salah satu pemandangan indah bagi para pendaki gunung.. maka kalau ia habis, para pendaki gunung akan kehilangan keindahan yang satu ini. Maka, mari belajar untuk tidak egois, alam adalah sahabat dan mencintai alam sebagai wujud cinta pada penciptanya. Satu lagi, ungkapan pendaki bijak yang saya kutip dari blog pendaki, “jangan tinggalkan apapun kecuali jejak langkah, jangan ambil apapun selain foto, dan jangan membunuh apapun kecuali waktu” ini sering disebut dengan “Leave no Trace.” Maka kami pun turun membawa tas kresek berisi sampah plastik yang kami temukan.


Dan akhirnya kami sampai di hutan pinus, selang beberapa lama perjalanan kembali lagi menuju percabangan jalur saat kami melakukan istirahat pertama subuh sebelumnya. Walapun jalur turunnya berbeda, namun akhir pendakian tetap sama pada pura saat memulai pendakian. Sangat miris melihat motor kami yang berbalut debu. Mereka terlahir dari kekayaan alam. Andaikan mereka mempunyai nyawa dan pikiran seperti kita, betapa bangga dan kagummnya juga mereka. Selalu jaga dan cintai alam, akan menuntun kita untuk mencintai penciptanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar