Pengalaman
ini bukan cerita baru. Walaupun pengalaman tahun lalu, kesannya
terasa sepanjang masa.
Saya
sangat suka aktivitas outdoor. Aktivitas outdoor berpadu sempurna dengan
pemandangan indah adalah obat bagi apapun masalah yang sedang kita pikirkan.
Saat itu bulan agustus 2013, dari lantai 3 gedung kampus, bersama teman seorang
mapala menatap puncak gunung nan jauh di utara berlatar cerahnya langit
bertaburkan biru. Tanyaku, “Apa yang akan aku dapatkan saat pertama kali berada
disana?” Jawaban yang menantang, “Jangan tanyakan itu padaku, karena jawaban dari
setiap puncak selalu berbeda dan sulit dimengerti. Datanglah ke gunung, temukan
jawabannya disana.”
Dan pertanyaan “kapan” dari ku yang terbalas senyum, cukup memulai pengalaman ini.
17
Agustus 2013, bersama tiga rekan berangkat ke Kintamani dari Kota Denpasar dan
dua orang teman yang merupakan anak mapala berangkat dari puncak Gunung Agung. Lho maksudnya?? Yaps,
mereka hari itu memperingati 17 Agustus di Puncak Gunung Agung, dan sore
harinya akan bertemu kami di Kintamani untuk menuju Gunung Batur. Gunung Batur
cocok untuk kami para pendaki pemula.
Gunung
Batur (1.717m) merupakan gunung nomor dua di bali,
setelah Gunung Agung (3.142m). Gunung ini letaknya di kecamatan Kintamani,
kabupaten Bangli. Gunung ini memiliki kaldera besar yang dianggap salah satu
yang terbesar dan paling indah di dunia. Kaldera ini terbentuk setelah dua
letusan besar 29.300 dan 20.150 tahun yang lalu. Gunung ini telah meletus
sebanyak 26 kali sejak 1804. Letusan terbesar adalah pada tahun 1926 yang
menyebabkan Desa Batur ditutupi oleh lava. Letusan terakhir terjadi pada tahun
2000, tapi syukurnya itu bukanlah letusan yang
besar. Jadi Desa Batur yang terletak di sebelah selatan gunung berapi yang ada
sekarang adalah sebuah desa baru yang dibangun setelah letusan. Gunung hitam
kering ini masih memiliki nafas dan memberikan hidup kepada masyarakat di
sekitarnya.
![]() |
Foto udara Kaldera Batur dari sisi timur Gunung Agung. Sumber: dewatajourney.com |
Perjalanan
dari Denpasar ke Kintamani sekitar 2 jam perjalanan, kami pun bertemu di
Kintamani pukul 20.00 WITA. Tidak bisa membayangkan bagaimana tangguhnya dua orang
teman kami yang baru turun dari mendaki Gunung Agung dan sekarang menemani kami
menuju puncak Gunung Batur. Awesome...
Jalan
turunan berkelok kami susuri menuju Desa Kedisan yang terbalutkan kabut dengan hawa
dingin yang menusuk tubuh, sampai kami memasuki jalanan yang lumayan rusak serta
banyak persimpangan tepatnya di kawasan hutan pinus, dan berhenti pada areal Pura
Tampurhyang. Ternyata kawasan ini yang disebut sebagai jalur pendakian Toya
Bungkah. Jalur pendakian Gunung Batur ada 2, yaitu jalur pendakian Toya Bungkah
dan jalur pendakian Puri Jati. Sebelum beristirahat kami melakukan
persembahyangan di Pura tersebut sebagai kepercayaan kami untuk memohon ijin
dan keselamatan selama beristirahat dan pendakian. Pukul 21.30 WITA kami
beristirahat pada sebuah wantilan dekat pura, namun tidur sangat gelisah,
terganggu dengan hawa dingin yang semakin larut semakin menusuk sampai ke
tulang.
Deringan
alarm dari ke-6 HP sontak membuat kami ber-6 terbangun kaget. Hahahaa bagaikan
ada panggilan darurat untuk bertempur. Dan yeaah pukul 02.00 WITA, 18 Agustus
2013. Saatnya berkemas-kemas untuk memulai pendakian. Sementara pendakian
dimulai dengan menaiki motor. Sungguh pengalaman luar
biasa menelusuri jalan setapak yang tidak datar serta menanjak lumayan terjal menggunakan motor
bebek. Kasian motor kami, hiiiiiii. Berhenti di depan sebuah pura dengan
pondasi yang tinggi. Sepeda motor kami masukkan ke semak-semak di depan pura
(gile benerrrr, haaa). Sebelum pendakian yang sebenarnya, diawali persembahyang
pada pura tersebut. Dan, pendakian dimulai. Pengarahan terlebih dahulu dari
teman kami yang akan menjadi penunjuk jalur pendakian. Konsep pendakian kami
adalah Leader dan Sweeper. Satu sebagi Leader (pemimpin) yang akan memimpin pendakian kami
di depan dan satu orang lagi sebagai Sweeper
(penyapu) yang berjalan pada barisan paling belakang kelompok untuk memastikan
tidak ada anggota kelompok yang tertinggal atau tersesat.
Bermodalkan
dua buah senter ukuran sedang dan satu senter dari HP, kami telusuri jalur pendakian yang
gelap gulita memasuki hutan pinus. Jelang beberapa lama jalur terbagi dua, satu
jalur yang lebih landai namun lebih jauh dan satu lagi jalur lebih cepat namun
terjal. Beristirahat sejenak, dan lanjut dengan keputusan melewati jalur lebih
pendek (cepat). Jalur pendakian semakin menanjak dan mulai berpasir serta
berkerikil yang membuat tempo langkah semakin melambat. Kalau tidak hati-hati bisa
terpeleset atau tersangkut akar pinus yang banyak membentang di tengah jalur
pendakian.
Angin membawa hawa dingin semakin terasa berhembus kencang sebagai tanda sebentar lagi akan keluar dari hutan pinus menuju jalur yang terbuka. Dan benar saja, kami keluar dari hutan pinus dengan jalur semakin curam, sudut kemiringan sekitar 60 derajat yang ditempa angin yang cukup kencang, cukup kuat untuk menghempaskan langkah kami. Sayang sekali pemandangan kelap kelip lampu-lampu di desa di bawah tidak dapat kami nikmati dengan puas, kabut terus menyelimuti pendakian. Pendakian pun dihadapkan dengan jalur bebatuan bekas dari lahar yang mendingin, yang diselimuti oleh embun pagi sehingga cukup licin saat kita lalui. Ini menandakan puncak semakin dekat. Dan benar saja, sudah sampai pada puncak Gunung Batur tepat pukul 04.00 WITA yang telah kami tempuh selama 2 jam pendakian.
![]() |
pemandangan kelap kelip lampu di desa jika cuaca di punggung gunung tidak berkabut. sumber: febryhadinata.blogspot.com |
Angin membawa hawa dingin semakin terasa berhembus kencang sebagai tanda sebentar lagi akan keluar dari hutan pinus menuju jalur yang terbuka. Dan benar saja, kami keluar dari hutan pinus dengan jalur semakin curam, sudut kemiringan sekitar 60 derajat yang ditempa angin yang cukup kencang, cukup kuat untuk menghempaskan langkah kami. Sayang sekali pemandangan kelap kelip lampu-lampu di desa di bawah tidak dapat kami nikmati dengan puas, kabut terus menyelimuti pendakian. Pendakian pun dihadapkan dengan jalur bebatuan bekas dari lahar yang mendingin, yang diselimuti oleh embun pagi sehingga cukup licin saat kita lalui. Ini menandakan puncak semakin dekat. Dan benar saja, sudah sampai pada puncak Gunung Batur tepat pukul 04.00 WITA yang telah kami tempuh selama 2 jam pendakian.
Mengesankan!!!
Sembari
menunggu sunrise, beristirahat di tenda sebuah warung yang berada di puncak.
Ternyata benar apa kata teman-teman yang sudah pernah kesini, ada
semacam warung di puncak Batur. Haaaaaaaa dengan harga makanan dan minuman yang bukan main. Jadi siap-siap merogoh kocek banyak. Tapi harganya sebanding dengan lokasi warung yang tidak seperti biasanya dan perjuangan sang penjual membawa barang dagangan mereka ke puncak.
semacam warung di puncak Batur. Haaaaaaaa dengan harga makanan dan minuman yang bukan main. Jadi siap-siap merogoh kocek banyak. Tapi harganya sebanding dengan lokasi warung yang tidak seperti biasanya dan perjuangan sang penjual membawa barang dagangan mereka ke puncak.
Semakin
pagi pendaki semakin ramai, lebih dominan wisatawan mancanegara yang dipimpin
oleh pemandu. Saya sempatkan bertanya kepada seorang pemandu, “Pak lihat ada
motor masuk semak di bawah di depan pura?” Dan jawaban yang memuaskan, “ada 3 motor dik,
adik punya?” Dengan senyuman saya mengangguk, haaaaa maklum was-was motor
nyangkut di hutan gitu.
Akhirnya
yang ditunggu pun datang, semburat
kemerahan dari ufuk timur yang mulai menerangi kegelapan
dibayangi kabut yang seakan mengajak bermain dengan menyembunyikan pemandangan
indah tersebut. Yaahh sayang sekali, rasanya kurang “klik” melihat sunrise yang terlihat tersipu
malu bersembunyi di balik sejuknya kabut yang melintasi kami. Sesekali sunrise
Nampak terlihat jelas tanpa balutan kabut walau hanya sesaat, dikala itu jepretan
kamera berbarengan mengabadikan indahnya sang surya yang mulai menunjukkan
kehangatannya.
![]() |
walaupun bersembunyi dibalik kabut, sunrise tetap indah mempesona |
Sunrise
hanya keindahan pembuka saat berada di puncak Gunung Batur. Kami sangat
menantikan keindahan berikutnya yang akan membuat kagum dan takjub. Benar saja,
selepas berpalingnya kabut yang membalut kami, mentari pagi yang sudah terik
menampakkan kehindahan itu. Hamparan sisa lahar Batur menyapa dari bawah, lekuk
danau batur berbentuk bulan sabit dengan petak petak-petak kebun sayur di
pinggirnya. Di seberang, berdiri Gunung Abang dan Gunung Agung yang seakan-akan
mengucapkan selamat pagi kepada kami lewat kekokohan dan keagungannya. Semua
ini telah membuat mata
menatap lebih lama daripada biasanya, kata bijak 5cm pun telah saya buktikan. Sejauh mata memandang
ke sekeliling, kepenatan rutinitas sehari-hari seakan terhapuskan oleh keindahan
yang tiada banding. Kaldera Batur ini begitu menawan, pantas saja kaldera
Gunung Batur ini resmi masuk dalam Global Geopark Network (GGN) UNESCO pada September 2012 lalu.
Seperti
tak puas-puasnya menikmati suasana di Puncak Batur, sampai tak terasa hanya
kami ber-6 yang masih berada di puncak Gunung Batur. Pendaki lain sudah ada
yang turun maupun ke puncak yang di seberang. Waktu menunjukkan pukul 07.45
WITA. Terlihat dua teman sudah sangat lelah, maklum tenaga mereka sudah
terkuras di Gunung Agung. Kesempatan untuk beristirahat bagi mereka
sangat bermanfaat, dalam sekejap mereka terlelap dalam tenda warung. Kesempatan
ini saya manfaatkan untuk mencari jawaban dari pertanyaan yang telah membawa
saya kesini.
![]() |
Nova dan Nila, Leader dan Sweeper. Salam Lestari!!! |
Berdiri
di puncak tertinggi Gunung Batur dihantam hembusan angin berbalutkan awan, saya
bebaskan mata memandang sejauh mungkin, pikiran membuka polanya seluas mungkin.
Apa yang saya lihat bukanlah semata keindahan alam yang nampak di depan mata saya.
Pikiran merasuki mata bahwa di balik keindahan alam di depan mata ini, masih ada
keindahan lainnya yang berada nan jauh di baliknya, pandanglah sejauh mungkin,
buka wawasan, jangan berpaku pada apa yang sedang kamu alami sekarang. Luar
biasa sensasi pengalaman ini, namun belum pas di hati, merasa masih ada jawaban
lain. Tentu saja, jawaban yang utama adalah “sahabat dan cinta yang tak biasa”
yang saya temukan disini. Saya tidak bangga menyebut saya sudah menaklukkan
puncak Gunung Batur. Karena pertanyaan dalam hati, “Siapa yang takluk?? Saya
atau puncak gunung??” Bukankah saya yang takluk saat mencapai puncak ini,
dengan segala hal yang telah saya persiapkan sebelum mencapai puncak
ini. Saya yang mendatanginya tanpa dia undang, sayalah yang takluk padanya.
Puncak gunung tetap kuat, kokoh dan gagah walau saya sebut sudah
menaklukkannya. Pernyataan itu terinspirasi dari yang disampaikan oleh Sabar
Gorky saat berhasil menggapai puncak Elbrus, dan saya telah
membuktikannya. Benar saja, di sini kita menemukan sahabat. Puncak gunung itu
menjadi sahabat yang harus kita cintai dengan perasaan yang tak seperti biasanya,
puncak gunung bukanlah yang kita taklukkan. Bersahabatlah bersama alam dengan mencintainya
dari rasa yang tak biasa yang kita alami dalam hidup ini.
![]() |
view dari puncak |
![]() |
sahabat dan cinta yang tak biasa dalam hidup |
Hari
semakin panas, pukul 10.00 WITA, saya membangunkan kedua rekan saya, mereka
Nampak sudah lebih fresh walau nyawanya seperti masih dalam mimpi. Kami mulai
turun ke kawah menuju pintu terowongan lava (lava
tunnel). Terowongan ini sangat unik karena seluruh dinding terbentuk oleh
aliran lava. Ketika Gunung Batur meletus, lava meluber melalui sisi tenggara
kawah. Bagian atas lava lebih dulu membeku, namun bagian dalam masih meleleh
sehingga membuat rongga, dan sekarang terbentuk terowongan. Dari sini nampak Tebing-tebing kawah gunung Batur begitu
kokoh. Begitu ikhlas menerima hantaman dingin dan angin gunung. Ia Memanjakan
mata kita yang melihatnya gagah berdiri, diam dalam senyap. Kami pun memutuskan untuk turun, dan saya baru menyadari
bagaimana kondisi jalur pendakian yang kami lalui dalam kegelapan subuh
sebelumnya. Begitu curam, pantas saja membuat kita sport nafas. Nah jalur turun kali ini membuat kami sport
jantung. Jalur turun beda dengan jalur berangkat, jalur baliknya kita menelusuri jalur setapak yang sempit, medan berikutnya turunan agak terjal yang ditutupi oleh
pasir dan bebatuan.
Menuruni punggung Gunung Batur akan membutuhkan waktu lebih lama, tentu saja karena diperlambat oleh pemandangannya yang begitu berkesan dan disambut tanaman edelwis yang yang bertebaran sepanjang jalur dengan kecantikannya. Tapi jangan sampai memetik bunga edelwis ya. Tanaman edelweis ini mungkin memang indah, tapi ia ditakdirkan untuk hanya dapat dinikmati di tempat, tidak untuk dipetik dan dibawa pulang. Karena ia adalah salah satu pemandangan indah bagi para pendaki gunung.. maka kalau ia habis, para pendaki gunung akan kehilangan keindahan yang satu ini. Maka, mari belajar untuk tidak egois, alam adalah sahabat dan mencintai alam sebagai wujud cinta pada penciptanya. Satu lagi, ungkapan pendaki bijak yang saya kutip dari blog pendaki, “jangan tinggalkan apapun kecuali jejak langkah, jangan ambil apapun selain foto, dan jangan membunuh apapun kecuali waktu” ini sering disebut dengan “Leave no Trace.” Maka kami pun turun membawa tas kresek berisi sampah plastik yang kami temukan.
Dan akhirnya kami sampai di hutan pinus, selang beberapa lama perjalanan kembali lagi menuju percabangan jalur saat kami melakukan istirahat pertama subuh sebelumnya. Walapun jalur turunnya berbeda, namun akhir pendakian tetap sama pada pura saat memulai pendakian. Sangat miris melihat motor kami yang berbalut debu. Mereka terlahir dari kekayaan alam. Andaikan mereka mempunyai nyawa dan pikiran seperti kita, betapa bangga dan kagummnya juga mereka. Selalu jaga dan cintai alam, akan menuntun kita untuk mencintai penciptanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar